scribo ergo sum

Selasa, 14 Desember 2010

Grasshopper

17:20 Posted by wiwien wintarto 2 comments


Sebagai negara utama bulutangkis dunia, agak aneh kalau dipikir betapa amat jarang muncul karya seni tentang badminton di Indonesia. Sastra (novel) hanya ada segelintir. Film setahu saya sepanjang sejarah hanya ada King (Alenia Pictures)—itupun, setelah saya nonton, nggak terlalu memuaskan karena nggak total tentang badminton, hanya dipakai sebagai background tapi big picture-nya bukan tentang badminton itu sendiri.
Wajar kalau saya jadi iri dengan Amerika dan Inggris. Di Amerika, ada segudang film tentang dua olah raga khas negara itu, yakni baseball dan American football. Dan dari Inggris, muncul banyak juga film tentang sepakbola (yang terbaru “The Damned United”; sudah nonton?).
Berbekal rasa iri (dan penasaran) itulah saya menulis Grasshopper. Saya ingin bikin sebuah cerita tentang bulutangkis yang total. Harus tentang badminton itu sendiri, dan badminton tidak boleh hanya sekadar “hiasan dinding”. Harus dengan detail, data-fakta-istilah, dan realisme. Pokoknya full badminton—nggak boleh kurang!
Grasshopper bertutur tentang dua cewek ABG dari Kota Magelang, Prita dan Saras. Mereka sama-sama hobi main bulutangkis, dan baru saja tampil luar biasa menawan dalam Kejurda Yunior tingkat Kota Magelang. Prita mengalahkan Saras di final. Lalu, Prita didaftarkan secara misterius ke Jogjakarta Open, salah satu rangkaian seri turnamen yunior Future Series gelaran PBSI, oleh seseorang yang bernama Pak Subur.
Melihat peluang terbuka untuk menuju level yang lebih tinggi, Prita mengikuti turnamen bergengsi tersebut. Saras belakangan ikut mendampinginya. Mereka dikawal oleh Pak Sutadi, guru ekskul badminton mereka di sekolah, dan Edo, kawan lain kelas yang ikut sibuk semata-mata karena naksir Prita!
Di luar dugaan, baik Prita maupun Saras tampil luar biasa. Prita memainkan badminton indah dengan gerakan enteng mirip belalang, sehingga dijuluki Grasshopper. Sedang Saras dengan seragam serba ungu yang membuatnya amat sexy di lapangan, bermain dahsyat dengan smes-smes tajam dan dijuluki Deep Purple oleh penonton.
Petualangan di Jogja Open membawa konsekuensi baru: mereka harus memilih untuk terjun total sebagai profesional di badminton, atau kembali ke kehidupan sebagai remaja biasa. Ada pula dilema soal cinta yang harus dialami Prita. Ia didekati dengan penuh antusiasme oleh Edo, namun sebagian besar hatinya kadung tertambat pada si bengal Reddy. Mana yang akan ia pilih...?
Grasshopper mulai saya kerjakan tahun 2007 lalu. Ilhamnya terutama datang dari pekerjaan saya saat itu sebagai kontributor tetap free tabloid Planet Badminton, Jakarta. Suatu saat, pas mengerjakan rubrik Glossary Badminton, saya berpikir “Kenapa nggak bikin novel tentang badminton...?”. Apalagi bahan, data, dan fakta melimpah di komputer dan juga ingatan.
Secara umum, pengerjaannya tak terlalu rumit. Tiga bulan, jadi. Yang agak pelik adalah proses penerbitannya, karena sempat dua kali ditolak penerbit—satu di Jakarta, satunya lagi di Jogja. Baru tiga tahun kemudian, 2010 ini, akhirnya Grasshopper ditampung oleh Elex Media Komputindo. Maka balik kandanglah saya, reuni dengan Elex sebagaimana lima novel Teen’s Heart terdahulu, sejak Kok Jadi Gini? (2005) hingga Dunia Dini (2007).
Karena didukung data, fakta, dan memori pengetahuan yang mayan komplet tentang badminton, saya bisa garap Grasshopper dengan cukup detail pula. Makin kelihatan “ilmiah” karena Mbak Martini, editor, meminta saya untuk melengkapinya dengan glossary (daftar istilah) agar pembaca awam bisa ikut mudeng dengan lob, dropshot, footwork, net clear, atau baseline. Bahkan Mbak Martini ini sempat menyangka saya pelatih bulutangkis, hehe...!
Dan karena ini bukan merupakan sebuah cerita badminton biasa, ada satu elemen khusus yang saya tambahkan dalam gaya penceritaan Grasshopper. Apakah itu? Tentu nggak seru kalau saya ungkap semuanya di sini. Yang jelas, mudah-mudahan saja penggemar fanatik cerita silat (“Menuju Matahari” dan sejenisnya!) akan suka...!
Seperti biasa, tentu ada garis besar yang ingin saya sampaikan. Kali ini tentang keberanian untuk memilih jalan hidup (takdir) yang rumit dan penuh tantangan ketimbang yang serba aman seperti orang kebanyakan (sekolah-pacaran-kuliah-pacaran-wisuda-nikah-psikotes-kerja-gajian-beranak-menua-parenting-promosi-mantu-pensiun-manula-dut!).
Ada kata bijak yang berbunyi, “Jangan lalui jalan yang sering dilalui orang lain. Buatlah jalan di hutan belantara yang belum pernah dijamah orang lalu tinggalkan jejakmu di situ!”.
Nah, beranikah Anda menerima tantangan untuk menerabas “hutan” dan meninggalkan jejak? Grasshopper akan membawa Anda ke sana...

2 komentar:

  1. yang ini aku belum punya tapi sering denger waktu disebut-sebut gitu...

    BalasHapus
  2. aku lagi baca cerita nya rame banget terus pas nyobain main bulutangkis aku paling lincah kaya Prita pake si merah darah😂

    BalasHapus